Sabtu, 25 Februari 2012

ELKANA GORO LEBA-FISIP UNDANA "REFORMASI BIROKRASI"


TUGAS
MATA KULIAH
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

REFORMASI BIROKRASI



new-2 copy

Nama                          : Elkana Goro Leba
NIM                             : 0803011817
Dosen Wali                  : Drs. Jacob Wadu, M. Si
Jur./Semester/kls.        : Ilmu Adm. Negara/VI/A






FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011

Birokrasi dikenalkan oleh de Gourney saat pemerintahan Yunani
klasik, selain tipe pemerintahan yg lainnya monarkhi,
arsitokrasi dan demokrasi
Secara etimologis: bureau dan cracy
Kata Bureau menunjuk pada tempat para pejabat bekerja (meja)
Kata cracy yang berarti mengatur (to rule)
Setiap org memerlukan seperangkat aturan / tatanan administrasi
(Verwaitungsordung) – Max Weber
A.    BIROKRASI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masa cultuurstelsel, masa desentralisasi dan emansipasi, masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa Binnenlands Bestuur dan ambtskostuum binnenlands bestuur, masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan bahwa presiden Indonesia memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan Indonesia

1.      Birokrasi Indonesia Pada Masa Kolonial

Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan wilayah antar negeri yang sangat besar agar tidak menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.
Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di Batavia (sekarang Jakarta) melakukan administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas nama kerajaan Belanda (dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai gubernur jenderal yang dibantu oleh dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indië), sekretariat umum (algemene secretarie), departemen administrasi umum (departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah (het binnenlands bestuur} dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi bangsa Eropa sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah pengarahan langsung dari pemerintahan lokal Inlandsche Bestuur (pangreh praja) yang mencakup bagian besar dari dahulu yang disebut dengan wilayah Hindia Belanda, pemerintahan sendiri seperti raja, pangeran dengan melalui kesepakatan politik dengan pemerintah kolonial namun ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana pemerintahan kolonial ikut membentuk birokrasi yang berdampingan dengan birokrasi pemerintahan lokal seperti yang terlihat pada administratif pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun 1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama dalam sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan cultuurstelsel berangsur-angsur berubah dengan demikian sektor swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan perindustrian dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan, perdagangan komersial dan industri bersamaan dengan itu budaya politik saat itu mulai ikut menumbuhkan gerakan nasionalisme di Indonesia.
Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun 1916 terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan walikota bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada 1918 mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun 1925 wilayah dibagi dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di pulau utama Jawa dan Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan fungsi tersebut.

2.      Awal Kemerdekaan

Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948 pemerintah RI yang berkedudukan di Jogjakarta baru mendirikan Kantor Urusan Pegawai (KUP) sedangkan pemerintahan RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk masalah kepegawaian dibentuk melalui Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 10 tanggal 20 Februari 1946 dengan nama Kantor Urusan Umum Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun dengan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948 membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masing-masing melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 dibentuklah Kantor Urusan Pegawai (KUP) guna menyatukan Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan berada di bawah dan bertanggugjawab kepada perdana menteri akan tetapi karena suasana perpolitikan saat itu, Kantor Urusan Pegawai (KUP) yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disusul pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian konstitusi RIS berubah menjadi UUDS 1950 yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke negara kesatuan. Tahun 1953 T.R. Smith membantu menyusun laporan untuk Biro Perancang Negara berjudul Public Administration Training, setahun kemudian dua orang profesor dari Cornell University, School of Business and Public Administration Amerika yang diundang ke Indonesia yaitu Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin yang berhasil menyusun laporan rekomendasi yang berjudul Training for Administration in Indonesia[5][6]. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 9 April 1957) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian atau Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) sebagai pengganti Kantor Urusan Pegawai (KUP) serta ikut dibentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan administratur negara atau birokrasi keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada perdana menteri.
Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 melarang PNS golongan F menjadi anggota dari partai politik selanjutnya pada tahun 1961 dikeluarkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawaian dan dibentuk Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962 tentang pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah negara tingkat tertinggi, dua tahun kemudian dikeluarkan Keppres Nomor 98 Tahun 1964 dibentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) merupakan kelanjutan dari Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), retooling atau "pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir ini lebih bernuansa politis dengan penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang sedang memerintah (the ruling party) atau yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan republik.

3.      Birokrasi Indonesia dalam Perkembangan

Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan sangat dominan, partai-partai politik mulai melakukan building block kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis di jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan partai politik yang bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami spoil system yang merajalela mulai dari pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta unsur-unsur lainnya diluar tugas birokrasi.
Pada tahun 1966 awal pemerintahan Suharto bedasarkan Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku presiden dan ketua presidium Kabinet Ampera melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967 kembali membentuk panitia pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu presidium yang kemudian dikenal dengan nama Tim Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau disingkat menjadi Tim PAAP yang beranggotakan sebelas orang dengan Menteri Tenaga Kerja selaku ketua didampingi oleh direktur LANsebagai sebagai sekretaris serta dibantu oleh lima orang penasehat ahli yang mengusulkan unit kerja baru bernama Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal dan Inspektorat tercermin dalam Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta dalam pengorganisasian kembali birokrasi pada kementerian negara melalui Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966 dilakukan pengubahan penggolongan PNS dari golongan A sampai dengan F menjadi golongan I sampai dengan IV.
Selanjutnya pada tahun 1968 kembali dibentuk Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah yang disebut pula sebagai Proyek 13 disusul dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1968 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968, Proyek 13 ini kemudian berganti nama menjadi Sektor Penyempurnaan dan Penertiban Administrasi Negara yang lebih dikenal dengan nama Sektor P' dengan anggota terdiri dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Negara, Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan Koperasi. yang diketuai oleh Awaloeddin Djamin yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dengan tugas agar dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.
Ketika Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968, dibentuk kementerian nomenklatur baru yaitu Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara bertugas antara lain melanjutkan pembersihan birokrasi dari unsur-unsur apa yang disebut dengan berpolitik kepartaian lalu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 pada tanggal 29 Nopember 1971 didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya Tim PAAP dan Proyek 13 akhirnya dilebur kedalam Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan.
Aparatur Negara sedangkan Sektor Aparatur Pemerintah (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi penyusunan kebijaksanaan, perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara dan Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara yang dipimpin oleh seorangan menteri merangkap menjadi anggota Sektor N (Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q (Keamanan dan Ketertiban) dan dengan Keppres Nomor 45/M Tahun 1983 Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara diubah kembali menjadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut merangkap pula sebagai wakil Ketua Bappenas.
Tahun 1995 melalui Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995 pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima hari kerja yaitu hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1995 sebagai akibat dari sistem pembinaan Karier PNS, pertumbuhan nol pegawai negeri sipil (PNS) (Zero Growth) seta perampingan organisasi.
Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai gerakan reformasi maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 mengenai keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai anggota partai politik lalu diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 yang membuat pegawai negeri sipil (PNS) kembali tertutup dari kemungkinan untuk ikut berkiprah sebagai keanggotaan dalam partai politik apapun.


4.      WAJAH KEKINIAN BIROKRASI INDONESIA: Birokrasi dalam politik Indonesia
Birokrasi diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
Ini semakin menjelaskan tentang perselingkuhan antara birokrasi dengan elit politik yang semakin intens. Melalui institusi Presiden dan Wakil Presiden dengan Wakil Rakyat, DPR. Kebijakan yang dirumuskan dianggap sah dan demokratis, hanya karena adanya keberadaan symbol institusi dari demokrasi, yakni DPR. Di sisi berhadapan birokrat begitu kuat menjaga motif nilai manajer departemen. Pada konteks organisasi public, eksekutif melalui birokrasinya terbawa tuntutan reformasi administrasi melalui paradigma pasar, sepert terwujudnya good governance. Ini dilakukan untuk menghindari kegagalan implementasi dan kritik keras terhadap birokrasi. Dilema yang muncul adalah birokrasi harus professional dan responsive tapi, pada sisi lain otonominya sebenarnya sedang ditekan oleh politisi melalui paradigma baru. Dugaan bahwa dinamika komplek terpotret melalui bargaining dalam sector public yang memungkunkan terjadi manipulasi dalam pengelolaan sector public. Reformasi politik, telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik ditengah arus demokratisasi, karena reformasi administrasi sering direduksi pada tatanan tehnis. Birokrasi sebenarnya tidak akan bisa netral.
Birokrasi kita sekarang ini masih sangat mengecewakan di dalam pelaksanaannya, bureaucratic goverment di Indonesia merupakan birokrasi publik yang mengalami kebingungan arah dan ini terjadi di tengah perubahan ke arah demokrasi. Dalam reformasi ini di manfaatkan oleh politisi melalui cara yang tidak demokratis, karena birokrasi tidak siap untuk berubah. Rezim kita sekarang ini telah gagal menentukan kualitas yang tinggi dalam mengelola masalah publik. Padahal rezim seharusnya menentukan peraturan dasar dan kualitas dari interaksi antara bermacam-macam lembaga melalui kebenaran proses kebijakan dan gabungan nilai untuk mengelola masalah publik.
B.     REFORMASI BIROKRASI
Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik. Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik, ,termasuk buruknya kinerja birokrasi. Tujuan tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi model, reformasi birokrasi di Indonesia pasca Orde Baru.
Gerakan reformasi Indonesia yang dipelopori oleh para mahasiswa pada tahun 1998 yang sekaligus mampu meruntuhkan rezim Orde Baru (rezim Suharto) telah mengukir sejarah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga kini. Gerakkan ini pecah akibat mulai munculnya  kesadaran tentang banyaknya hak-hak warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa. Seiring dengan itu, kerinduan akan kehidupan yang demokrasi pun timbul sebagai penolakan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang, bertindak otoriter, tidak menghargai harkat dan martabat manusia, menginjak-injak hak asasi manunsia dan pengambilan keputusan berdasarkan keputusan kolektif sepihak. Gerakkan itu tidak dapat dipisahkan juga dengan arus globalisasi yang mengusung nilai-nilai universal dan mendunia serta berlangsung secara universal dan dalam waktu yang cukup singkat dan juga telah membawa perubahan dalam system social, budaya, ekonomi, politik, pemerintahan, dsb. Kondisi ini juga di satu sisi berpotensi membawa perubahan yang positif bagi bangsa ini tapi di sisi lain keadaan ini telah membawa kehancuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana nilai-nilai social dalam masyarakat menjadi kabur dan banyak pihak yang bertindak diluar kewajaran dengan mengatasnamakan demokrasi. Keluar dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era demokrasi menimbulkan tuntutan yang sangat kuat pada perubahan struktur dan kultur. Di antara tuntutan perubahan itu adalah desentralisasi pemerintahan yang lebih luas dan birokrat yang berkompoten.



C.    BEBERAPA  REKOMENDASI” REFORMASI BIROKRASI
Pergerakkan menuju demokrasi tidak hanya berlangsung dalam nilai-nilai social kemasyarakatan secara fundamental tetapi sebagaimana yang telah saya singgung di atas bahwa kondisi ini pula berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan atau birokasi pemerintah. Hal ini tercermin pola penyelenggaraan pemerintahan yang berlangsung secara politis dan peranan birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan (eksekutor) tetapi juga sebagai perumus kebijakan public (policy maker). Pergeseran peran ini mengharuskan lembaga-lemabaga birokrasi agar selalu responsive terhadap kebutuhan warga Negara.
Beberapa konsep yang mendukung adanya reformasi birokrasi yang juga terlihat pada koreksi David Osborne dan Ted Gaebler terhadap paradigma birokrasi Weber yang hirarkis, disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Hal itu disarankan oleh Osborne dan Gaebler supaya menjadi birokrasi yang memiliki paradigm baru yang antara lain adalah sebagai berikut: 
1.      Catalytic Government
Steering rather than rowing.  Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri. 
Dari sisi ini, birokrasi telah mempraktekan nilai kebebasan atau demokrasi. Dimana pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengatur bidang-bidang kehidupan yang berguna bagi kelangsungan hidup mereka dan hal ini tidak terjadi pada pemerintahan yang otoriter.
2.      Community-Owned Government
Empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah.
Pada posisi ini birokrasi pemerintah menekankan kepada aspek kemandirian masyarakat dan birokrasi pemerintah merupakan kepunyaan masyarakat karena dipilih oleh masyarakat. Artinya aparat birokrat merupakan hasil dari suatu pemilihan secara bebas berdasarkan keinginan warga Negara yang notabenenya hal ini berlangsung secara politis melalui kegiatan-kegiatan politik.
3.      Competitive Government
Injecting competition into service delivery. Pemerintahan yang kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik. 
Dari konsep di atas, terkandung bahwa pemerintah menjamin ketersediaan regulasi dan barang-barang public melalui tindakan-tindakan yang kompetitif dari birokrasi public. Itu artinya birokrasi telah menjunjung tinggi hak-hak masyarakat dalam hal ini pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat.

Di samping itu, isu lain yang hendak menjelaskan demokrasi birokrasi, juga terkandung dalam prinsip-prinsip demokrasi yang telah diinternalisasikan ke dalam prinsip penyelenggaraan birokrasi pemerintah, antara lain seperti berikut ini.
1.      Transparansi
Penyelenggaraan birokrasi pemerintah  harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.
Transparansi bertujuan memudahkan masyarakat untuk:
a)      Memperoleh informasi secara lengkap dan terus menerus.
b)      Menumbuhkembangkan kepedulian dan partisipasi masyarakat.
c)      Meningkatkan rasa saling percaya diantara para birokrat dan masyarakat umum.
2. Partisipasipasi
Adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan mulai dari tahapan sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemeliharaan dan pengembangan kegiatan. Salah satu wujud keterlibatan masyarakat adalah masyarakat mampu dan berhasil membuat perencanaan secara efektif melalui forum mekanisme perencanaan dari bawah (bottom-up planning).
3. Desentralisasi
Desentralisasi bermakna sebagai pemberian kewenangan kepada masyarakat agar sejauh mana masyarakat memperolah hak otonomi untuk mengelola ADD ini secara mandiri dan partisipatif.
4.Akuntabilitas
Dimaksudkan bahwa semua program dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan secara administrative dan teknis serta moral.
Bertolak dari gagasan tersebut, dapat diyakini bahwa birokrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya birokrasi publik berurusan dengan persoalan bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga Negara. Birokrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis, tetapi lebih mirip sebuah jaringan kerja yang rasional dan modern. Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan kebutuhan publik, dan terhadap perluasan kebebasan-kebebasan  berpolitik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Karena itu birokrasi public dapat menjadi dasar penyelenggaraan demokrasi dalam Negara yang demokrasi.




Model Reformasi Birokrasi Indonesia
Oleh: Syafuan Rozi Soebhan
Peneliti PPW LIPI Jakarta; Email: syafuan@indonet.com

Andy Fefta Wijaya, Ph.D
Ketua Program MAP FIA UB

Oleh Purnama Julia Utami
 
Disusun akibat kesiangan UTS mata kuliah Analisis Kekuatan Politik Indonesia

Asas-Asas Umum Birokrasi Pemerintahan (Kepemimpinan) Yang Baik
Asas umum kepemimpinan yang baik tidak berlaku secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional. Tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan.
Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik antara lain adalah sebagai berikut.
1. Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Tantangan Kepemimpinan Dalam Sistem Birokrasi
Secara mendasar, birokrasi Indonesia masih terkesan sulit untuk direformasi. Beberapa persoalan birokrasi antara lain,
Pertama, gaya kepemimpinan dan mentalitas mayoritas aparat birokrasi (baik pusat atau daerah) belum berorientasi pada pelayanan publik. Kondisi ini disebabkan masih kuatnya mentalitas aparat publik yang lama, sementara aparat publik yang baru belum mampu mengubah budaya kerja di unit kerjanya.
Kedua, pemerintah pusat terkesan belum ikhlas memberikan keleluasaan pada birokrat di daerah dalam upaya memacu perkembangan daerahnya. Pada kasus ini, pemerintah pusat selalu memonitor dan mensupervisi setiap perda-perda di tingkat daerah.
Ketiga, birokrasi sering macet karena berhadapan dengan benang kusut politik. Birokrasi tidak akan bisa bekerja dalam situasi politik yang kurang kondusif. Dalam kondisi demikian, banyak produk politik yang terasa aneh dan menjadikan birokrasi sebagai “kambing hitam” dalam penyelenggaraan urusan publik.
Keempat, birokrasi kurang berfungsi karena pernyataan visi dan misi yang tidak konsisten. Hal ini diperparah dengan daerah yang kurang mampu membuat prioritas dalam mengeksplorasi potensi daerah. Akibatnya birokrasi kurang terfokus dalam memberikan pelayanan publik.
Kelima, kepemimpinan birokrat yang lemah. Birokrasi di era reformasi cenderung lentur seiring dengan demokratisasi dalam masyarakat. Dengan demikian gaya kepemimpinan tetap berperan di sini. Kepemimpinan para birokrat kita selama ini masih menggunakan konsep lama, kurang fleksibel. Akibatnya, mesin birokrasi juga kurang berfungsi dengan baik.
Keenam, birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam (jago kandang) sehingga belum terbuka untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di pusat atau di daerah. Persaingan dengan mengedepankan potensi yang dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat merepotkan.

============
. PERANAN KEPEMIMPINAN DALAM BIROKRASI
Faktor penting dalam menentukan keberhasilan reformasi birokrasi adalah peran kepemimpinan (leadership) bagi upaya perubahan, demikian Lembaga Administrasi Nasional (LAN).
Kegagalan reformasi birokrasi dalam pelaksanaannya lebih disebabkan oleh kurangnya komitmen, konsistensi dan kredibilitas para pemimpinnya. Sejalan dengan reformasi birokrasi, saat ini pemerintah telah banyak melakukan inisiatif untuk mereformasi birokrasi khususnya perbaikan sistem dan budaya kerja, pengukuran kinerja, penerapan disiplin, optimalisasi peningkatan pelayanan publik, upaya mengurangi korupsi dan peningkatan produktifitas kerja dan renumerasi yang memadai.
Namun demikian upaya-upaya tersebut belum dapat mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan masyarakat.
Sudah saatnya reformasi birokrasi diarahkan untuk mengubah pola lama praktek kepemimpinan yang dilayani ke arah kepemimpinan yang melayani.
Ada tiga aspek tipe kepemimpinan yang melayani yakni "hati yang melayani" atau kepemimpinan dimulai dari dalam diri sendiri. Lalu "kepala yang melayani" atau seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata tapi juga harus memiliki serangkaian metode kepemimpinan. Aspek ketiga adalah "tangan yang melayani" yakni pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia harus menunjukkan perilaku atau kebiasaan pemimpin sejati yang selain fokus pada duniawi juga fokus pada hal spritual. Artinya seorang pemimpin harus berempati terhadap apa yang dirasakan bawahan atau rakyat secara luas.
===============
PERAN BIROKRASI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Menyoalkan tentang peranan birokrasi dalam implementasi kebijakan, mengantarkan kita pada tiga pertanyaan besar, yakni: apa yang harus dilakukan dalam implementasi kebijakan? bagaimana realitasnya? dan apa kendala dalam mengimlementasikan suatu kebijakan?
Kita awali dengan pertanyaan yang pertama:
1.      APA YANG HARUS DILAKUKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Lineberry menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam  implementasi:
1)      Pembentukan Unit Organisasi Atau Staf Pelaksana
Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
2)      Penjabaran Tujuan Dalam Berbagai Aturan Pelaksana (Standard Operating Procedures/SOP)
Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard Operational Procedure (SOP)’. Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi.
”Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.
3)      Koordinasi Berbagai Sumber Dan Pengeluaran Pada Kelompok Sasaran Serta Pembagian Tugas Diantara Badan Pelaksana
`Pembagian tugas merupakan ciri utama birokrasi. Tugas-tugas pejabat diorganisir berdasarkan aturan yang berkesinambungan. Tugas-tugas tersebut dibagi menurut bidang dan dibedakan atas fungsi dan masing-masing dilengkapi dengan persyaratan otoritas dan sanksi-sanksinya.
4)      Pengalokasian Sumber-Sumber Untuk Mencapai Tujuan
Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi. (Tachjan, 2006:135)
Menurut Hogwood dan Gunn, hal-hal yang harus dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah berikut ini yaitu:
1)    Menyedia waktu dan sumber-sumber yang memadai;
2)    Memadukan  sumber daya yaitu manusia, dana dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya;
3)    Kebijakan yang di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang erat;
4)    Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;
5)    Tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat;
6)    Menyempurnakan komunikasi dan koordinasi
7)    Pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan kewenangan.

2.      BAGAIMANA REALITASNYA
Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny H. Jern dan David O’Porter (1981), menyusun suatu model yang dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
Berbicara tentang realitas yang di hadapi birokrasi ternyata tidak sebaik  yang dibicarakan dalam teori. Birokrasi sering mengalami persoalan dalam hal sumber daya bahkan struktur yang tidak ideal dengan beban tugas  yang diembani kepadanya.
Sumber daya misalnya. Alasan klasik yang sering kita temukan adalah kurangnya sumber-sumber pembiayaan, sehingga tidak cukup untuk membiayai tugas-tugasnya. Meski demikian, tetapi masih terlihat korupsi yang merajalela di setiap tingkatan birokrasi pemerintah. Oleh sebab itu, ini bukan persoalan kurangnya sumber pembiayaan tetapi persoalan tindakan dari oknum yang tidak bermoral seperti itu.
Dari segi sumber daya manusia, birokrasi sangat akan akan sumber daya itu jika dipandang dari sisi kuantitas, namun persoalannya terletak pada kualitasnya. Kualitas personil birokrasi pemerintah sangatlah rendah ketimbang personil  yang dimiliki oleh organisasi swasta. Produktivitas dan jiwa inovasinya sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh para personil masih berorientasi pada komando dalam setiap pelaksanaan tugas. Kesalan lain adalah rekruitmen pegawai yang tidak transparan. Kadang kala rekruitmen itu atas dasar criteria-kriteria pribadi yang tidak sejalan dengan tujuan organisasi.
Permasalahan yang paling urgen juga adalah masalah stuktur organisasi yang tidak ideal dengan tugas yang diemban kepada birokrasi. PP No. 41 Tahun 2007 mengisyaratkan bahwa stuktur organisasi birokrasi harus dibuat seramping mungkin agar tidak menimbulkan pemborosan pada dana dan daya. Artinya menciptakan organisasi yang miskin struktur dan kaya fungsi. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Fakta berbicara yang terjadi justru sebaliknya. struktur tidak ideal. Artinya, organisasi yang ditemukan di lapangan lebih kaya akan sturktur dan miskin fungsi. Dengan demikian, maka sulit bagi birokrasi dapat melaksanakan kebijakan public dengan baik.

3.      APA KENDALA DALAM MENGIMLEMENTASIKAN SUATU KEBIJAKAN
Bertolak dari pendapat beberapa para ahli kebijakan public  tentang Model atau pendekatan Implemetasi kebijakan, kendala yang sering dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan public antara laian adalah sebagai berikut:
  1. Kendala dalam hal Sumber Daya yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan
Sumberdaya yang dimaksud, meliputi:
1.1.Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
1.2.Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
1.3.Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
1.4.Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
  1. Kendala yang berkaitan dengan Disposisi
Faktor-faktor yang menjadi perhatian menurut Edward III dalam Agustinus (2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
2.1.Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
2.2.Inisiatif. Inisiatif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
  1. Kendala dalam hal Komunikasi yang berkaitan dengan isi dan tujuan yang akan dicapai oleh suatu kebijakan
Komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu:
3.1.Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah jalan.
Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu:
Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua, informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat mengakibatkan bias informasi. Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan
3.2.Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan  atau tidak ambigu/mendua.
3.3.Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
  1. Sikap penolakan dari agen kelompok sasaran atau bahkan pelak agen pelaksana kebijakan
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan.