Jumat, 24 Februari 2012

ELKANA GORO LEBA FISIP-UNDANA"HUBUNGAN ANTARA KEPALA DAERAH DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) MENURUT UU NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH


             
HUBUNGAN ANTARA KEPALA DAERAH DENGAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
MENURUT UU NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAH DAERAH



OLEH
ELKANA GORO LEBA
NIM. O8O2O11817




FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2011
HUBUNGAN ANTARA KEPALA DAERAH (KADA) DENGAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Negara Republik Indonesia (RI) merupakan negara kepulauan yang sejajar dari Sabang sampai Merauke. Itulah sebabnya maka sering disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu kemudian di tegaskan lagi dalam UUD 1945. Yang mana setiap pulau itu berada dalam wilayah atau daerah yang berbeda-beda. Daerah-daerah yang dimaksud dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang kemudian disebut sebagai Pemerintah Daerah (Pemda) dengan dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.
Oleh sebab itu, maka untuk mengatur jalannya roda pemerintahan di daerah diciptakan peraturan dan atau perundang-undangan yang antara lain kronologisnya sebagai berikut:
1.      Undang- Undang No. 1 Tahun 1945
2.      Undang- Undang No. 22 Tahun 1948
3.      Undang- Undang No. 1 Tahun 1957
4.      Panpres No. 6 Tahun 1959
5.      Undang- Undang No. 18 Tahun 1965
6.      Undang- Undang No. 5 Tahun 1974
7.      Undang- Undang No. 22 Tahun 1999
8.      Undang- Undang No., 32 Tahun 2004 (berlaku sekarang)

Dalam Undang- Undang No. 32 Tahun 2004, Kepala. daerah mempunyai tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD:
1)      mengajukan rancangan Perda;
2)      menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
3)      menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
4)      mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
5)      mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
6)      melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hubungan Antara Kepala Daerah (Kada) Dengan 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Telah dimaklumi sebelumnya bahwa kepala daerah untuk Daerah Provinsi adalah Gubernur dan Kabupaten adalah Bupati serta kota adalah Wali Kota. Kepala daerah ini mempunyai mitra yang sejajar dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (a). pimpinan; (b). komisi; (c). panitia musyawarah; (d). panitia anggaran; (e). Badan Kehormatan; dan (f). alat kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD mempunyai hak dan kewajiban. Anggota DPRD mempunyai larangan dan dapat diganti antar waktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai hak, yakni:
1)      Hak interpelasi, yaitu hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara. (penjelasan UU No. 32 th 2004, Pasal 43 Ayat (1) Huruf a)
2)      Hak angket, yaitu hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu dari kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (penjelasan UU No. 32 th 2004, Pasal 43 Ayat (1) Huruf b)
3)      Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya. (penjelasan UU No. 32 th 2004, Pasal 43 Ayat (1) Huruf c)
Hubungan antar fungsi pemerintahan tidak saling membawahi dan terikat pada hubungan koordinatif administratif. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah di samping Kepala Dearah. Jadi fungsi, dan peran Kepala Dearah dengan DPRD dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah hubungannya bersifat kemitraan. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya Pemilihan Kepala Dearah sacara langsung. Berikut ini hubungan antara DPRD dengan kepala Daerah dalam aspek legislasi, penganggaran dan pengawasan.
a.     Hubungan Legislasi
Hubungan antara kedua lembaga negara tersebut di sini adalah pada saat membuat peraturan daerah (perda). Kedua lembaga sama-sama berhak untuk membuat perda (UU 32 th 2004, Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada saat pembahasan tentang perda yang substansinya sama, maka yang harus didahulukan adalah perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat 2).
Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum seperti yang tertera dalam Pasal 137 – syarat perda dan Pasal 138 – asas perda). Sementara satu-satunya perda yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD-Pasal 181).
b.   Hubungan Penganggaran
Hubungan dalam konteks anggaran. Semua urusan pemerintahan di daerah didanai oleh APBD. APBD tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRD karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah (Pasal 179) dalam melakukan pelayanan publik dalam masa satu tahun anggaran. Eksekutif kendati memiliki hak untuk membuatnya, tidak berarti harus menafikan DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal 181). Dengan demikian keterlibatan DPRD di sini adalah membahas dan atau memberikan persetujuan atas rancangan APBD yang dibuat oleh eksekutif (Pasal 42 b). Walau pada akhirnya, eksekutif merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 156 ayat 1).
Peraturan perundangan memberikan “kekuasaan” lebih besar kepada ekeskutif dalam proses penganggaran, dimana DPRD bukanlah pengusul peraturan daerah tentang APBD, meskipun DPRD memiliki fungsi penganggaran. Dengan demikian maka, dalam penganggaran, eksekutif menjadi sangat dominan karena perencanaan anggaran dan pengalokasian sumber daya dirancang oleh eksekutif. DPRD seakan-akan kehilangan kekuatan untuk menentukan prioritas anggaran ketika rancangan dan kebijakan anggaran disusun oleh eksekutif dan kemudian dibahas bersama legislatif dalam kondisi waktu yang sempit.

c.   Hubungan Pengawasan
Hubungan (dalam konteks) pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD sebenarnya merupakan manifestasi dari mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Pengalaman selama rezim Orde Baru yang dengan sengaja telah mematikan peran DPRD sebagai waki rakyat di daerah, DPRD hanya berfungsi sebagai pelengkap dari sistem pemerintahan yang berlangsung, telah mendorong perbaikan fungsi DPRD secara hakiki. Beberapa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD tersebut adalah sebagai berikut:
a)      mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan perundang-undangan lainnya,
b)      mengawasi pelaksanaan keputusan pemerintah daerah (gubernur, bupati/walikota),
c)      mengawasi pelaksanaan APBD,
d)     mengawasi kebijakan pemerintah daerah, dan
e)      mengawasi pelaksanaan kerja sama internasional di daerah (Pasal 42 ayat 1 huruf c), serta mengawasi KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Penggunaan ketiga hak ini oleh DPRD memungkinkan pemerintah daerah diragukan. Sehingga kemungkinan munculnya implikasi negatif dari pemberian hak yang sangat besar kepada DPRD juga perlu mendapat perhatian, yaitu kemungkinan terjadinya “konflik” yang berkepanjangan antara kepala daerah dan DPRD. Karena DPRD kita selalu memainkan peran partisan bukan sebagai delegate atau trustee sebagaimana gagasan dasar respresentasi.
Hubungan legislatif dengan eksekutif daerah telah mengalami pasang surut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan perundangan yang telah dan masih berlaku tersebut antara lain: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 Tahun 1999. Dari UU No. 1 Tahun 1945 sampai UU No. 5 Tahun 1974 menunjukkan hubungan dimana legislatif lemah sedangkan eksekutif dalam posisi kuat. Adapun hubungan menurut UU No. 22 Tahun 1999 menunjukkan posisi sebaliknya, yaitu legislatif kuat dan eksekutif lemah. Kekuatan dan kelemahan hubungan tersebut juga menunjukkan kuat dan lemahnya peran legislatif maupun eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Gaya kepemimpinan Kepala Daerah yang sangat berbeda dengan Pimpinan DPRD; Latar belakang kepentingan yang diametral (terpisah secara berhadap-hadapan) antara Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD; latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat berbeda antara Kepala Daerah dengan anggota DPRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar